Rabu, 30 November 2016

HUKUMAN MATI MENURUT PANDANGAN AGAMA HINDU

Hukuman mati tidak disebutkan secara tegas/ pasti dalam kitab-kitab hukum Hindu. Dalam agama Hindu dikenal apa yang dinamakan ahimsa. Ahimsa merupakan suatu ajaran yang menentang tindak kekerasan dan dalam ajaran Hindu juga terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan kematian hanya dibatasi pada kematian fisik. Jiwa seseorang akan terlahir kembali ke dalam tubuh yang berbeda. Tinjauan dari ajaran Hindu yang menyerukan untuk tidak menggunakan hukuman mati tersebut. Salah satunya  tercantum dalam Kitab Santiparva dalam bab 257 yang menceritakan seorang pangeran yang menentang pembunuhan terhadap pelaku kejahatan yang senantiasa dilakukan oleh seorang Raja yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. 
Berikut isi dari percakapan tersebut:
Pangeran Satyavan: Terkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa dan dosa membuat kita mengetahui bentuk kebajikan. Dan tidak akan pernah mungkin membinasakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang bijak.
Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar.
Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku kejahatan, seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang yang ditakdirkan berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, Raja membunuh banyak orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, istri, ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama Hindu.
Isi dari percakapan Raja Dyumatsena dan Pangeran Satyavan inilah yang sering digunakan sebagai salah satu dasar dalam menentang hukuman mati oleh umat Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI (Atha Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan/ kejahatan digolongkan pada upa-pataka (kesalahan/ kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/ kejahatan besar). Kesalahan/ kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita adalah pensucian kembali roh/ atman, tidak hanya dengan upacara saja, tetapi juga dengan tapa-brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas dasar kesadaran, dan pengakuan, serta terbukti sah telah berbuat kesalahan/ kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit mengkiaskan “hukuman mati” sebagai berikut:
Laksyam Sastrabhritam Wa, Syadwidusamischayatmanah, Prasyedatmanamagnan Wa, Samiddhe Trirawaksarah
Artinya:
Atau biarkan menurut kemauannya sendiri perlahan-lahan (suntik mati), menjadi sasaran panah (hukum tembak) dari para pemanah (eksekutor) yang mengetahui tujuan itu (yang bertugas) atau ia boleh terjun jungkir balik ke unggun api (kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah pati” hanya ada dalam tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena itu penetapannya tergantung dari kebijaksanaan dan anumana pramana Sulinggih yang “muput” upacara pitra yadnya itu.
Menurut pendapat Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, hukuman mati bagi seorang pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah pati”, karena dia sudah tahu sebelumnya bahwa perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti bersalah akan mendapat sanksi hukuman mati dari Pengadilan. Masalah roh/ atman dari orang yang dihukum mati, apakah akan amoring acintya (moksah) ataukah akan lahir kembali ke dunia (re-inkarnasi/ punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena masalah itu termasuk astaaiswarya “kehendak” Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang diputuskan oleh “manusia” karena dipandang “bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan Sanghyang Widhi dia juga dianggap “bersalah”. Misalnya para korban kemelut politik, huru-hara, dll.
HUKUMAN MATI DALAM MAHABHARATA (Kisah Shri Krisnha Memenggal Kepala Sisupala)
Sisupala merupakan putra Damagosa dan Srutasrawa dari kerajaan Chedi, kerabat Vasudewa, sepupu Shri Kresna. Kitab Bhagawatapurana menjelaskan bahwa Sisupala merupakan penitisan dari Jaya dan Wijaya, penjaga gerbang Waikuntha, kahyangan dewa Wisnu.
Menurut kitab Mahabharata, Sisupala lahir dengan tiga mata dan empat lengan. Orangtuanya berniat untuk membuangnya, namun sabda dari langit mencegah mereka untuk melakukan hal tersebut sebab Sisupala ditakdirkan untuk hidup sampai dewasa. Sabda tersebut mengatakan bahwa tubuh Sisupala dapat menjadi normal jika dipangku oleh seseorang yang istimewa, yaitu seorang titisan Wisnu, dan kematian Sisupala juga berada di tangan orang yang sama.
Ketika keluarga Basudewa menjenguk Srutasrawa, Kresna turut hadir. Saat Kresna memangku Sisupala, mata dan lengan tambahan di tubuh Sisupala langsung menghilang. Mengetahui hal tersebut, orangtua Sisupala sadar bahwa kematian Sisupala juga berada di tangan Kresna. Mereka memohon agar Kresna mau bersabar dan mengampuni kesalahan yang diperbuat Sisupala apabila anak tersebut sudah dewasa. Kresna berjanji bahwa ia akan menahan kemarahannya. Ia menambahkan, apabila Sisupala sudah menghinanya lebih dari 100 kali, dan penghinaan itu dilakukan di hadapan orang banyak, maka Kresna berjanji bahwa ia tidak akan segan untuk membunuh Sisupala.
Setelah Jarasanda dari Magadha dibunuh oleh Bima dalam sebuah pertarungan, kerajaan Magadha tunduk pada kerajaan Kuru. Untuk menegakkan dharma di daratan Bharatawarsha, Yudistira dari Indraprastha menyelenggarakan upacara Rajasuya. Para raja dari kerajaan di penjuru Bharatawarsha menghadiri aula Indraprastha, termasuk Sisupala dari Chedi. Ketika Yudistira bingung memutuskan siapa yang akan menerima hadiah terlebih dulu, Bisma—kakek Yudistira yang merupakan sesepuh Dinasti Kuru—berkata bahwa Kresna paling layak mendapatkannya. Mengetahui hal tersebut, Sisupala menjadi dengki lalu menghina Kresna bertubi-tubi.
Sambil menghina Kresna, Sisupala menantangnya untuk bertarung. Karena Sisupala telah menghina Kresna bertubi-tubi dan dilakukan di hadapan banyak orang, maka Kresna memenuhi tantangan Sisupala. Dalam pertempuran, Sisupala tidak berhasil melukai Kresna. Sebaliknya, Kresna menebas leher Sisupala dengan Cakra Sudarsana. [dikutip dari wikipedia].
Setelah Sisupala terbunuh, salah satu peserta sidang protes, dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh memberikan hukuman melampui atau melebihi dari perbuatan yang dilakukan seseorang, dan tidak boleh menjatuhkan hukuman sebelum raja yang memberikan hukuman. Sri Kresna menanggapi bahwa hukuman bagi seseorang sebagai pembersih racun bagi diri sang pendosa (penebus dosa pelaku kejahatan). Dengan hukuman, pelaku kejahatan dapat dihentikan dari perbuatan kejahatan (dosa) berulang-ulang. Dan Sri Kresna memenggal kepala Sisupala setelah Maharaja Yudistira menjatuhkan hukuman mati, sehingga Sri Kresna dikatakan tidak melanggar dharma (hukum).
Hukuman mati, saat ini dianggap melanggar ham, terutama hak untuk hidup. Namun bila kita tinaju dari sudut pandang yang lain makalogika ini sangat fatal. Seseorang yang telah melakukan perampasan terhadap hak-hak seseorang maka pelaku kejahatan pun harus dirampas haknya. Misalnya, seorang pembunuh harus dihukum mati, karena telah merampas hak hidup seseorang. Pemahaman lebih dalam lagi, tanpa memberikan hukuman yang setimpal terhadap pelaku kejahatan, akibatnya roh pelaku kejahatan akan tersiksa di neraka untuk menebus dosanya, dan akan dilahirkan kembali ke dunia sebagai mahkluk menderita, dan besar kemungkinan akan melakukan kejahatan berulang yang lebih kejam [jika tidak bertobat setelah menjelma]. Akan tetapi, dengan hukuman yang setimpal, roh dari pelaku kejahatan dibersihkan dari dosanya, dan masuk surga dan dilahirkan kembali menjadi mahkluk yang lebih beradab, lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
Jika kita cermati, pandangan hukuman mati sebagai pelanggaran ham akan menjadi benar jika hanya melihat dari sisi hukum duniawi (hukum modern), sebaliknya menjadi bukan kebenaran jika dilihat dari sudut pandang hukum agama yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian (surga-neraka).
Dengan kata lain, hukuman mati sebenarnya masih relevan diterapkan, terlebih lagi masyarakat Hindu meyakini hukum karma. Dalam ajaran Veda, hukuman dikatakan sebagai penebus dosa. Pelaku kejahatan kelas berat, terutama pembunuh dihukum dengan dibunuh maka atmanya terbebas dari dosa. Sedangkan apabila pembunuh tidak dihukum mati maka pembunuh ini akan menjelma, dan kelak akan mati terbunuh (demikian terjadi terus berulang kali). Dalam hukum Islam pembalasan seperti itu (misalnya pembunuh dengan dibunuh) disebut Qisas.
Ada yang berlogika, bahwa jika seseorang dihukum mati maka yang menghukum mati akan dibunuh pada penjelmaan berikutnya karena telah melakukan perbuatan membunuh. Ini logika yang fatal. Menurut ajaran Hindu, jika seseorang melakukan perbuatan atas nama, misalnya atas nama negara, seseorang tidak berdosa, inilah perbuatan yang dikatakan “berbuat sebagai tidak berbuat” dan dalam hukum modern pun dikenal asas seperti itu.  
Terkait hukuman mati, kejahatan yang pantas dipidana mati dalam pandangan hukum Hindu adalah orang yang melakukan perbuatan kejam atau kejahatan kelas berat. Merujuk pada kisah Mahbharata tersebut, seseorang yang dapat dipidana mati adalah orang yang melakukan perbuatan dosa atau kejahatan berulang-ulang (residivis).
Ada enam kejahatan yang digolongkan kedalam perbuatan kejam, yang disebut sad atatayi. Kitab Slokantara menyebutkan “Orang yang membakar rumah, suka meracuni, dukun jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat, keenam ini dimasukan dalam golongan “Atatayi”. {Slokantara 71 (32)}.
“….Keenam pekerjaan ini jangan dilakukan oleh manusia waras, karena sudah pasti perbuatan seperti itu akan menyeretnya ke lembah neraka dan akan dianiaya berat oleh Dewa Yama. Jika ia hidup, ia akan disakiti dan disiksa oleh budak-budaknya sendiri. Demikian kata kitab suci. Setelah mereka dimasak hidup-hidup dalam api neraka, mereka akan diserahkan ke permukaan bumi ini seperti menyerahkan serabut remuk. Akhirnya mereka akan bertebaran disana-sini. Mereka yang bersifat dan berlaksana demikian adalah kelahiran neraka” Terjemahan Bahasa Jawa Kuno (Slokantara Halaman 235).
Dalam kitab Kutara Manawa Agama (Kitab Perundang-undangan Majapahit), ada tiga jenis kejahatan dari delapan jenis kejahatan (asta dusta) yang jika dilakukan seseorang dapat dipidana mati.
Perincian astadusta dalam kitab “Kutaramanawa Agama” (disertasi Dr. Jonker) yang berbunyi:
Yang masuk kedalam astadusta dikatakan : orang yang membunuh orang tak berdosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai orang tanpa dosa, makan bersama-sama dengan pembunuh, sehilir semudik dengan pembunuh, berkawan dengan pembunuh, memberi tempat perlindungan kepada pembunuh, menolong pembunuh.
Selanjutnya dinyatakan:
“Itulah semuanya astadusta. Yang tiga dosa jiwa, yang lima dosa harta. Membunuh orang tanpa dosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai parah orang tanpa dosa, itu semuanya tiga dosa. Jika dosanya terbukti ketiga-tiganya, orangnya harus dihukum mati karena ketiganya itu dosa yang harus dibayar dengan jiwa”.

Hukuman mati bukan hanya sebatas untuk memuaskan hati masyarakat yang merasa dirugikan, lebih dari itu hukuman mati adalah sebagai penebus dosa akibat perbuatannya, sehingga ia bebas dari reaksi dosa, “… orang-orang yang telah melakukan pidana dan telah pula dihukum oleh raja akan pergi ke surga karena telah bersih seperti halnya mereka yang telah melakukan perbuatan yang bajik (Manawa Dharmasastra VIII.318).

ILMU PENGETAHUAN DALAM KITAB WEDA

Pustaka Hindu kuno,  memperkirakan Hari Brahma, jangka hidup dari alam semesta kita, menjadi 4.32 milyar tahun. Angka ini dekat dengan perkiraan para astronom kita,  yang menghitungnya menjadi sekitar 4.6 milyar tahun.”
Dr. Carl Sagan ahli astronomi AS terkenal, di dalam bukunya, Cosmos (1980) menjelaskan: “Agama Hindu   adalah satu-satunya agama besar dunia yang mengatakan bahwa Alam Semesta mengalami kelahiran dan kematian tak terukur, tak terbatas. Ia  adalah satu-satunya agama di  mana skala waktunya sesuai dengan skala waktu kosmologi ilmiah modern. Siklusnya berjalan dari hari siang dan malam biasa kita ke suatu siang dan malam Brahma, 8.64 milyar tahun panjangnya. Lebih panjang dibanding usia Bumi atau Matahari dan sekitar separuh waktu sejak Dentuman Besar (Big Bang). Dan masih ada banyak skala waktu yang lebih panjang.”
Suatu ketika Dr. Carl Sagan, melakukan show di sebuah TV di Amerika. Dengan bantuan animasi dan simulasi komputer, Mr. Sagan mempresentasikan semua teori yang dikemukakan oleh Para ahli fisika astronomi saat ini. Dijelaskannya tentang panjang gelombang cahaya galaxy yang terus bertambah, alam semesta mengembang, teori Big Bang, efek Dopler, dan sebagainya. Para pemirsa terkejut, ketika menjelang akhir acaranya Mr. Sagan terlihat berada di India, berdiri di depan sebuah Temple Krishna yang telah berusia ribuan tahun. Mr. Sagan berkata “Para ilmuwan menemukan semua teori yang telah saya paparkan tadi tahun-tahun akhir ini saja, sedangkan di sini, di India, orang sudah mengetahui informasi itu sejak ribuan tahun yang lalu, dari kitab-kitab Weda…” (Danavir Gosvarni, 2002).
Ketika aku membaca Bhagavad-Gita dan merenung tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta ini yang lainnya nampak begitu tidak bermakna.”
“Kita berhutang   banyak kepada orang India yang mengajarkan kita bagaimana   menghitung, tanpa itu penemuan yang bermanfaat ilmiah tidak mungkin dilakukan.” ~ Albert Einstein
“Setelah perbincangan tentang Filosofi India, beberapa ide mengenai Fisika Quantum yang tampaknya gila tiba-tiba menjadi lebih masuk akal.” ~ W. Heisenberg (Ahli fisika Jerman, 1901-1976)
“Vedanta dan Sankhya memegang kunci proses hukum-hukum pikiran yang berhubungan dengan Bidang Quantum. Seperti operasi dan distribusi partikel-partikel pada level atom dan molekul.” ~ Prof. Brian David Josephson (1940 – ) Ahli Fisika Wales, penerima Nobel termuda
Semua kitab-kitab Veda menggunakan bahasa yang Ilmiah. Kenapa disebut bahasa yang ilmiah? Veda menggunakan bahasa Sansekerta. Menurut penelitian NASA (Badan Antariksa Amerika) dalam majalah AI (Artificial Intelligence) yang diterbitkan pada musim semi 1985 hasil penelitian Rick Briggs, Bahasa Sansekerta adalah satu-satunya bahasa yang bisa diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa pemrograman komputer. Ilmuwan NASA telah membuktikan bahwa Sansekerta adalah satu-satunya bahasa yang dapat mengekspresikan setiap kondisi yang ada di alam semesta dengan jelas. Dengan struktur bahasa yang sempurna, Bahasa Sansekerta dapat dan telah digunakan sebagai Bahasa Kecerdasan Buatan, Artificial Intelligence. “Seperti yang akan kita lihat, ada bahasa yang digunakan di kalangan komunitas ilmiah kuno yang memiliki penyimpangan nol. Bahasa ini adalah bahasa Sansekerta. ” ~ Rick Briggs (NASA)

Berikut ini adalah beberapa diantara banyak bukti adanya sains dan ilmu pengetahuan yang terdapat di Kitab-Kitab Agama Hindu yaitu Veda.
ALAM SEMESTA
Tuhan Yang maha Esa dan Maha Besar adalah Brahman, Dewa Wisnu adalah personifikasi Brahman tertinggi.



Ilustrasi : Setiap satu alam semesta yang berbentuk bulat telur, terdiri dari banyak Galaksi, satu Dewa Brahma.


Kāranodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu): Wisnu yang berbaring dalam lautan penyebab dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta. Lautan penyebab (Causal Ocean / Lautan Energi) adalah energi eksternal Tuhan. Sesuai dengan teori fisika terkini dimana energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
Jadi dari setiap “pori-pori” Kāranodakaśāyi Visnu muncullah Garbhodakaśāyī Visnu yang memunculkan sebuah alam semesta. Dari 1 “pori-pori” memunculkan 1 alam semesta yang terdiri dari jutaan galaksi. Garbhodakaśāyī Visnu dan Dewa Brahma ada di tiap-tiap alam semesta.
Brahma Samhita Sloka 13
Benih-benih transendental (anti materi) Sankarsana muncul dari “pori-pori kulit” Maha Visnu dalam bentuk telur emas yang tak terhitung jumlahnya sambil maha-Visnu “berbaring” di lautan penyebab, semua telur tersebut tetap tertutupi oleh unsur material besar. Secara Ilmiah munculnya alam semesta dari “pori-pori Tuhan” dalam wujud Kāranodakaśāyi Visnu ini merupakan area tempat terjadinya perubahan dari Energi menjadi Materi (penciptaan alam semesta materi), yang merupakan kebalikan dari Pralaya dimana materi berubah menjadi energi (peleburan).
Itulah maka Veda tidak menggunakan istilah kiamat tetapi peleburan, karena semata-mata hanyalah peleburan dari materi menjadi energi (“tenaga”). Ada beberapa tahap Pralaya yang skala waktunya mulai 4,3 milyar tahun (1 hari siang Brahma) sampai 311 triliun tahun bumi (akhir hidup Dewa Brahma). Alam semesta ini sedang berada di tahun ke – 51 Brahma atau 155 triliun tahun Bumi setelah Brahma lahir. Setelah Brahma melewati usia ke – 100, siklus baru dimulai lagi, segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali, begitu seterusnya.

Bhagavad-gita 9.7
Wahai putera Kunti, pada akhir jaman, semua manifestasi material masuk ke dalam tenaga-Ku, dan pada awal jaman lain, Aku menciptakannya sekali lagi dengan kekuatan-Ku.
Bhagavad-gita 9.8
Seluruh susunan alam semesta di bawah-Ku. Atas kehendak-Ku alam semesta dengan sendirinya diwujudkan berulang kali. Atas kehendak-Ku akhirnya alam semesta dileburkan.
Bhagavad-gita 9.10
Alam material ini, salah satu di antara tenaga-tenaga-Ku, bekerja di bawah perintah-Ku, dan menghasilkan semua makhluk baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, wahai putera Kunti. Di bawah hukum-hukum alam material, manifestasi ini diciptakan dan dilebur berulang kali.
Śrīmad Bhāgavatam 5.18.31
Ya Tuhan, manifestasi kosmik yang terlihat ini adalah demonstrasi energi kreatif Anda sendiri. Karena bentuk-bentuk yang tak terhitung jumlahnya dalam bentuk manifestasi kosmik hanyalah sebuah layar energi eksternal Anda semata.

Dalam kitab Purana dan Upanisad digambarkan bahwa alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad diuraikan seperti laba-laba memintal benangnya tahap demi tahap.

FISIKA, PLANET, MATAHARI, GALAKSI

Rgveda II.72.4

“Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari”.
Artinya : 
Dari aditi (materi) asalnya daksa (energi) dan dari daksa (energi) asalnya aditi (materi).
Ternyata teori yang mencengangkan ini telah tersurat di Veda. E = m.c2 Albert Einstein        ternyata bukan hal yang baru dalam ilmu pengetahuan Veda.

Rgveda II,11.20
“Avartayat suryo na cakram”
Artinya 
Matahari berputar seperti sebuah roda pada sumbunya.

Atharwa Weda XII.1.37

“Ya apa sarpam vijamana vimrgvari”.
Artinya: 
Bumi bergerak berotasi dan bertranslasi

Yajur Weda III.6

“Ayam gauh prsnir akramid,asadan mataram purah,pitaram caprayam svah”
Artinya: 
Bumi yang berbintik-bintik ini ada dan berputar dilangit seperti seorang ibu, ia berjalan mengelilingi matahari sebagai seorang ayah.

Dari sloka tersebut terlihat bahwa selain berotasi atau berputar pada porosnya, bumi juga berevolusi mengelilingi matahari, dari pernyataan ini sangat erat dengan teori heliosentris yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah matahari. Dan diperjelas lagi oleh kitab Atharwa Weda mengenai pergerakan Bumi. Dalam kitab ini pun juga menjelaskan bahwa bagaimana bumi dapat bertahan di dalam angkasa raya karena gaya tarik-menarik yang lebih superior, ini dalam ilmu fisika telah dijelaskan oleh Newton melalui teori Gravitasi yang sudah dipaparkan di atas.

Atharvaveda XIX.7.1
“Citrani sakam divi rocanani sarisrpani bhuvane javani ”.
Artinya : 
Semua konstelasi perbintangan yang bercahya ini berputar sangat kencang.

Atharwa Weda VI.106.3
“Suryasya rasmasyah para patanti asumat”
Artinya : 
Sinar matahari terpancar dengan dengan kecepatan sangat tinggi. (Penjelasan : kecepatan cahaya matahari adalah 2,99793 x 108 m/ det).

Yajurveda IX :3
“Apam rasam udvayasam surye santam samahitam, apam rasasya yo rasah”.
Artinya: 
Intisari yang paling halus yang membentuk air ada di matahari. [Penjelasan : Matahari sesungguhnya adalah bola gas yang berpijar, dengan komponen utama gas hindrogen dan helium. Hidrogen (H2) dapat bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkan air (H2O). Reaksinya 2H2(g) + O2 (g)a 2 H2O(l)].

Atharvaveda XIV.1.2

“Somena aditya balinah”
Artinya : 
Matahari menghasilkan energi dari soma ( hiderogen). [Penjelasan : Di Matahari secara terus menerus terjadi reaksi fusi ( penggabungan) inti-inti atom hydrogen menjadi inti atom helium. Reaksi tersebut disertai dengan pelepasan energi yang sangat besar].

Yajurveda XVIII.40
“Susunah suryarasmis candrama-gandharvah”
Artinya:  
Sinar matahari yang disebut susumna, menerangi bulan.

Regveda II.27.4
“Dharayanta adityaso jagat stha”
Artinya : 
Sinar matahari menopang seluruh alam semesta. [Penjelasan : Sinar matahari menopang melalui energi radiasi yang dikandungnya. Sebagai contoh , Bumi menerima supply energi dari matahari sebesar 1,73 x 1017 joule per detik. Energi sebesar itu hanya seperlima puluh milyar dari seluruh energi yang dipancarkan matahari. Mengingat demikian pentingnya energi matahari , maka matahari disebut sebagai sumber energi pertama dan utama bagi kehidupan di Bumi].

Rig Veda [1.103.2], [1.115.4] dan [5.81.2]:
Efek Gravitasi matahari membuat bumi stabil.

Rig Veda [10.189.1]:
Bulan ini, menjadi satelit bumi, berputar di planet Ibunya (Bumi) dan mengikutinya ber-revolusinya mengitari Matahari, ayah planet yang bercahaya sendiri.

Rig Veda [1.169.9], [1.190.7]:
Bumi berputar dan mengitari Matahari seperti anak sapi mengikuti Induknya.

Rig Veda [1.164.2]:
Garis edar bulat lonjong yang dilalui oleh benda angkasa adalah kekal dan tidak berkurang.

Rig Veda [1.164.29]:
Perputaran bumi tidak berkurang dan bumi terus berputar pada sumbunya.

Sama Veda [121]:
Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit karena bumi yang berotasi.

Rig VedaXXX. IV. V : 
Bentuk Bumi adalah seperti oblate spheroid (bulat pepat).

Brahmana Aitareya (3.44) : 
“Matahari tidak pernah tenggelam ataupun terbit. Ketika orang berpikir Matahari tenggelam tapi tidaklah demikian. Setelah tiba di penghujung hari, matahari membuat dirinya menghasilkan dua efek yang berlawanan, menghasilkan malam hari untuk apa yang di belahan bawah dan siang hari di belahan lainnya. Setelah sampai di penghujung malam, matahari membuat dirinya menghasilkan dua efek yang berlawanan, menghasilkan siang hari di belahan bawah dan malam hari di belahan lainnya. Pada kenyataannya, Matahari tidak pernah tenggelam.”

Shrimad Bhagwatam :
“Setelah pembentukan planet bumi, Brahma menciptakan atmosfer dalam tujuh kelompok, dari formasi tersebut lautan menjadi ada, dan bentuk kehidupan pertama muncul di planet Bumi. Atmosfer diciptkan untuk melindungi kulit Bumi”

Rig Veda 10.149.1 :
 “Matahari mengikat Bumi dan planet-planet lain melalui daya tarik dan menggerakkan di sekitar dirinya bagaikan seorang pelatih memegang kendali kuda dan bergerak mengelilinginya.” (Gravitasi)

Shrimad Bhagwatam 5.23.5 :
Bentuk dari çiçumära memiliki kepala ke bawah dan melingkar tubuhnya. Di ujung ekornya adalah planet dari Dhruva, pada tubuh ekornya adalah planet-planet dari Prajapati dewa, Agni, Indra dan Dharma, dan di dasar ekornya adalah planet-planet dari Dhätä demigods dan Vidhätä. Dimana pinggul mungkin pada çiçumära adalah tujuh orang bijak suci seperti Vasiñöha dan Aìgirä. Tubuh melingkar dari Çiçumära-cakra berubah ke arah sisi kanan, di mana empat belas rasi bintang dari Abhijit untuk Punarvasu berada. Pada sisi kiri adalah empat belas bintang dari Punya untuk Uttaräñäòhä. Jadi tubuhnya yang seimbang karena sisi-sisinya ditempati oleh jumlah yang sama bintang. Di belakang çiçumära adalah kelompok bintang yang dikenal sebagai Ajavéthé, dan di perut adalah seperti sungai Gangga yang mengalir di langit (Milky Way) [Galaksi Bima Sakti].

KIMIA, BIOLOGI

Atharvaveda III.13.5

“Agnisomau bibhrati apa it tah”.
Artinya : 
Air terbentuk dari Agni ( oksigen ) dan soma ( hidrogen)

Rgveda VIII. 72.16
“Adhuksat pipyusim isam urjam, suryasya sapta rasmibhih”
Artinya : 
Tumbuh-tumbuhan memperoleh energi dari cahaya matahari. [Penjelasan : Tumbuhan dapat mengubah air dan gas karbondioksida menjadi gula dan gas oksigen dengan adanya zat hijau daun (klorofil) dan bantuan sinar matahari ( sinar biru dan sinar merah). Hal tersebut terjadi melalui proses fotosintesis].

Samaveda 1824
“Tam it samanam vaninas ca virudho-antarvatis ca suvate ca vivaha”.
Artinya : 
Tumbuh-tumbuhan memancarkan udara vital yang dinamakan samana ( oksigen) secara teratur. [Penjelasannya : Oksigen (O2) merupakan hasil samping reaksi fotosintesis yang sangat bermanfaat bagi kehidupan, termasuk untuk pernafasan].

Atharvaveda VIII.7.10
“Ugra ya visa-dhusanih osadhih”
Artinya : 
Tumbuh-tumbuhan menghancurkan pengaruh atmosfir yang beracun.

Yajuveda :6.22
“Ma po mo sadhir himsih”.
Artinya : 
Jangan mencemari air dan jangan menebang pohon.

Yajurveda V.43

“Dyam ma lekhir,anariksam ma himsih”.
Artinya : 
Jangan mengganggu langit dan mencemari atmosfir.

MATEMATIKA
Asal angka adalah dari India. angka telah digunakan oleh orang India didalam acuan Matematika mereka pada abad ke-VI. Sistem nomor ini menyebar dari India ke Arab dan dari sana menyebar ke Eropa pada abad ke-XII.
Penemuan sistem angka yang modern memiliki nomor berkisar antara 1-9, dan konsep nol (angka nol) telah diakreditasikan terhadap India, simbol 0 berasal dari India. Angka ini telah digunakan dalam astronomi Hindu dan acuan Matematika seperti “Bhakhsali” (300 Masehi), “AryaBhata” (500 M) dan “Panch Sidhantica” (600 M).
Istilah sinus berasal dari India. Dipopulerkan oleh matematikawan dan astronom Aryabhata yang berarti setengah nada, ”ardha-jya” sebelum terus diubah sampai Gerard dari Cremona yang mengalihbahasakan Almagest (ingat: Ptolemy) pada penghujung abad 12, mengganti kata di atas ke dalam bahasa Latin yang artinya lebih-kurang sama, yaitu sinus. Dan adalah Aryabhatta  yang menghitung “phi” sebesar 3,1416. Banyak metode matematika tersebut bertebaran di dalam naskah-naskah seperti Shatapatha Brahmana, Baudhayanasutra, dll.
Sebagaimana dilaporkan dalam Indian Studies in Honor of Charles Rockwell (Harvad University Press, Cambridge, MA Edited by W.E. Clark, 1929), Sebokht menulis bahwa penemuan-penemuan bangsa India dalam bidang astronomi lebih jenius dibandingkan dengan bangsa Yunani atau Babylonia, dan sistem angka (decimal) mereka lebih unggul. (N.S. Rajaram, p.157, 1995)
Penemu pertama Calculus modern adalah orang India bernama Bhaskaracarya, dimana orang-orang mengira itu merupakan kontribusi dari Newton atau Liebnitz. Penggunaan aljabar, trigonometri, kwadrat dan akar pangkat tiga juga pertama kali dimulai di India. 
Aryabhatta (497 A.D.) yang menghitung “phi” sebesar 3,1416. Banyak metode matematika tersebut bertebaran di dalam naskah-naskah seperti Shatapatha Brahmana, Baudhayanasutra, dll.
Prof. R.G. Rawlinson menyatakan, “Hampir semua teori, kepercayaan, filsafat, dan matematika, yang diajarkan oleh Pythagoras sudah dikenal di India pada abad keenam B.C”.
Demikianlah sebagian kecil hal yang diungkapkan di dalam kitab suci Weda yang ilmiah, Kitab Suci Agama Hindu yang menjabarkan sains atau ilmu pengetahuan yang relevan dengan pengetahuan modern saat ini.